Kamis, 19 Mei 2011

Memaksimalkan Full Day School di SD

SEBUAH refleksi menarik dimuat harian ini pekan lalu. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengakui bahwa pelaksanaan full day school di metropolis kurang maksimal. Khususnya, pada level sekolah dasar.

Beliau juga membeberkan bahwa hal itu, antara lain, disebabkan kurangnya kreativitas guru dalam mengelola joyful learning. Akibatnya, murid cenderung bosan dan lelah mengikuti pelajaran hingga sore. Beliau lalu melontarkan solusi bahwa dispendik akan menggiatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru mengelola joyful learning.

Dispendik Surabaya memang terkesan sangat berkomitmen mendorong SD-SD di metropolis untuk menerapkan full day school. Alasannya, full day school terbukti mampu menekan angka kenakalan remaja.

Logis. Karena sibuk bersekolah, anak tidak punya waktu untuk berbuat aneh-aneh sepulang sekolah. Itu sejalan dengan kecenderungan orang tua metropolis yang tidak punya cukup waktu untuk berinteraksi dengan anak karena sibuk mencari nafkah.

Bila full day school hendak dilaksanakan dengan sukses, yang harus dibenahi adalah penataan kesepahaman sekolah pelaksana dan wali murid. Bila anak harus menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, harus ada alasan sangat kuat yang menguntungkan bagi pembentukan kepribadian anak. Kita harus kembali pada pemikiran awal, kenapa seorang anak harus pergi ke sekolah. Bila itu tidak dilakukan, pembicaraan mengenai full day school hanya akan menjadi lingkaran setan debat kusir.

Sekolah bukan mesin cuci. Sekolah bukan tempat menyelesaikan permasalahan hubungan keluarga yang buruk. Ketika orang tua terpaksa sibuk bekerja dan khawatir anaknya nakal, lalu memilih sekolah sebagai jalan keluar, itu jelas salah. Sekolah akan selalu dituntut bisa memproteksi anak dari kemungkinan menghabiskan waktu di luar sekolah. Sekolah dituntut menyelesaikan implikasi apa pun dari kurangnya hubungan orang tua-anak.

Anak yang frustrasi, kosong mental, menyimpan amarah psikologis, ditekan untuk berada di sekolah. Celakanya, saat ini, sekolah sebagai mesin cuci belum bisa dikategorikan baik. Sekolah baru bisa menahan anak berada di sekolah secara fisik, belum menjadi rumah yang nyaman bagi alam pikir anak.

Akibatnya, sekolah bisa-bisa menjadi kumpulan anak bermasalah. Mungkin karena itu, banyak sekolah enggan melaksanakan full day school. Sungguh mengerikan bila sekolah mau menjadi mesin cuci dengan ketidaksiapan amat sangat seperti itu.

Sekolah mestinya menjadi wahana anak mengembangkan kepribadian menjadi manusia yang utuh. Mungkin, latar keluarga si anak tidak harmonis. Namun, bila sekolah dan wali murid memiliki pemahaman di atas, bisa diharapkan anak yang melalui hari-hari di sekolah dalam rentang waktu tertentu tumbuh menjadi manusia yang diharapkan. Kesepahaman itu mestinya terwujud dalam komunikasi yang intens dan terstruktur antara sekolah dan wali murid.

Lalu, kesiapan apa yang perlu dilakukan sekolah? Pertama, sekolah harus memiliki kurikulum yang menekankan kebutuhan siswa. Istilah kerennya, pembelajaran berpusat pada siswa atau student-centered learning. Ketika kurikulum berpusat pada siswa, ia akan bertumpu kepada aktivitas siswa. Tidak seperti parrot learning yang selama ini masih dilakukan di banyak sekolah.

Parrot learning adalah proses belajar yang menekankan pada menghafal. Yang dikejar adalah penguasaan pengetahuan deklaratif. Bila ingat sesuatu, maka ia belajar. Anak akan menghabiskan waktu menghafal bagian tubuh di mata pelajaran sains, menghafal siapa saja raja Dinasti Syailendra di sejarah, menghafal rumus-rumus matematika, bahkan menghafal apa saja bagian-bagian komputer.

Memang, bila kita tidak ingat apa-apa tentang apa yang kita pelajari, ada kemungkinan kita tidak belajar. Namun, penekanan proses belajar pada aktivitas pengingatan fakta semata seperti itu kurang lebih sama dengan mengajari burung kakak tua berbicara. Karena itu, muncul istilah parrot learning.

Sekolah dengan student-centered learning akan memaksimalkan siswa dengan aktivitas menemukan pemahaman sendiri. Ketika memelajari bagian-bagian komputer, anak akan sibuk mengeksplorasi komputer hingga tahu mana mouse, keyboard, dan sebagainya tanpa si guru harus berbusa-busa menjelaskan. Guru mungkin sedikit menjelaskan untuk mengarahkan aktivitas anak.

Namun, secara umum si anaklah yang sibuk beraktivitas dengan guru sibuk mengobservasi seberapa jauh anak belajar. Anak SD suka beraktivitas. Bila mereka gembira beraktivitas, waktu belajar yang panjang tidak akan membosankan.

Konsekuensi penerapan student-centered learning adalah kesiapan dan kualitas guru. Dispendik dituntut intens memberikan pelatihan kepada guru SD. Sedikit saran, berdasar pengalaman, pelatihan masal tidak efektif.

Kesiapan terakhir adalah pengelolaan pembiayaan. Menerapkan full day school berarti menahan anak lebih lama di sekolah. Itu berarti pemenuhan kebutuhan dasar (konsumsi) menjadi tanggung jawab sekolah. Itu tidak murah.

Belum lagi pendanaan kegiatan belajar. Aktivitas siswa mengonstruksi pemahaman sebaiknya otentik, tidak hanya indoor activities, tapi juga outdoor activities. Pendanaan outdoor activities juga tidak murah.

Media pembelajaran yang variatif dan interaktif tetap saja menuntut penganggaran tidak sedikit, demikian pula pelatihan guru yang intens dan terencana.

Bantuan operasional pusat dan daerah memang sudah dikucurkan. Namun, di lapangan, kedua mekanisme pembiayaan itu belum maksimal, apalagi dalam konteks menerapkan full day school. Untuk pembiayaan reguler saja, masih ada keluhan karena sekolah tidak lagi bisa menarik iuran dari orang tua.

Mungkin alternatifnya adalah kepala sekolah memiliki visi kewirausahaan. Bisa menggali dana dari pihak ketiga atau melalui unit usaha yang dikembangkan sekolah. Namun, kepala sekolah bermental wirausaha, kalaupun ada, mungkin baru bisa dihitung dengan jari. ( diposting oleh : Budi. ES. sumber Jawa Pos )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar