Kamis, 19 Mei 2011

Memaksimalkan Full Day School di SD

SEBUAH refleksi menarik dimuat harian ini pekan lalu. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengakui bahwa pelaksanaan full day school di metropolis kurang maksimal. Khususnya, pada level sekolah dasar.

Beliau juga membeberkan bahwa hal itu, antara lain, disebabkan kurangnya kreativitas guru dalam mengelola joyful learning. Akibatnya, murid cenderung bosan dan lelah mengikuti pelajaran hingga sore. Beliau lalu melontarkan solusi bahwa dispendik akan menggiatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru mengelola joyful learning.

Dispendik Surabaya memang terkesan sangat berkomitmen mendorong SD-SD di metropolis untuk menerapkan full day school. Alasannya, full day school terbukti mampu menekan angka kenakalan remaja.

Logis. Karena sibuk bersekolah, anak tidak punya waktu untuk berbuat aneh-aneh sepulang sekolah. Itu sejalan dengan kecenderungan orang tua metropolis yang tidak punya cukup waktu untuk berinteraksi dengan anak karena sibuk mencari nafkah.

Bila full day school hendak dilaksanakan dengan sukses, yang harus dibenahi adalah penataan kesepahaman sekolah pelaksana dan wali murid. Bila anak harus menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, harus ada alasan sangat kuat yang menguntungkan bagi pembentukan kepribadian anak. Kita harus kembali pada pemikiran awal, kenapa seorang anak harus pergi ke sekolah. Bila itu tidak dilakukan, pembicaraan mengenai full day school hanya akan menjadi lingkaran setan debat kusir.

Sekolah bukan mesin cuci. Sekolah bukan tempat menyelesaikan permasalahan hubungan keluarga yang buruk. Ketika orang tua terpaksa sibuk bekerja dan khawatir anaknya nakal, lalu memilih sekolah sebagai jalan keluar, itu jelas salah. Sekolah akan selalu dituntut bisa memproteksi anak dari kemungkinan menghabiskan waktu di luar sekolah. Sekolah dituntut menyelesaikan implikasi apa pun dari kurangnya hubungan orang tua-anak.

Anak yang frustrasi, kosong mental, menyimpan amarah psikologis, ditekan untuk berada di sekolah. Celakanya, saat ini, sekolah sebagai mesin cuci belum bisa dikategorikan baik. Sekolah baru bisa menahan anak berada di sekolah secara fisik, belum menjadi rumah yang nyaman bagi alam pikir anak.

Akibatnya, sekolah bisa-bisa menjadi kumpulan anak bermasalah. Mungkin karena itu, banyak sekolah enggan melaksanakan full day school. Sungguh mengerikan bila sekolah mau menjadi mesin cuci dengan ketidaksiapan amat sangat seperti itu.

Sekolah mestinya menjadi wahana anak mengembangkan kepribadian menjadi manusia yang utuh. Mungkin, latar keluarga si anak tidak harmonis. Namun, bila sekolah dan wali murid memiliki pemahaman di atas, bisa diharapkan anak yang melalui hari-hari di sekolah dalam rentang waktu tertentu tumbuh menjadi manusia yang diharapkan. Kesepahaman itu mestinya terwujud dalam komunikasi yang intens dan terstruktur antara sekolah dan wali murid.

Lalu, kesiapan apa yang perlu dilakukan sekolah? Pertama, sekolah harus memiliki kurikulum yang menekankan kebutuhan siswa. Istilah kerennya, pembelajaran berpusat pada siswa atau student-centered learning. Ketika kurikulum berpusat pada siswa, ia akan bertumpu kepada aktivitas siswa. Tidak seperti parrot learning yang selama ini masih dilakukan di banyak sekolah.

Parrot learning adalah proses belajar yang menekankan pada menghafal. Yang dikejar adalah penguasaan pengetahuan deklaratif. Bila ingat sesuatu, maka ia belajar. Anak akan menghabiskan waktu menghafal bagian tubuh di mata pelajaran sains, menghafal siapa saja raja Dinasti Syailendra di sejarah, menghafal rumus-rumus matematika, bahkan menghafal apa saja bagian-bagian komputer.

Memang, bila kita tidak ingat apa-apa tentang apa yang kita pelajari, ada kemungkinan kita tidak belajar. Namun, penekanan proses belajar pada aktivitas pengingatan fakta semata seperti itu kurang lebih sama dengan mengajari burung kakak tua berbicara. Karena itu, muncul istilah parrot learning.

Sekolah dengan student-centered learning akan memaksimalkan siswa dengan aktivitas menemukan pemahaman sendiri. Ketika memelajari bagian-bagian komputer, anak akan sibuk mengeksplorasi komputer hingga tahu mana mouse, keyboard, dan sebagainya tanpa si guru harus berbusa-busa menjelaskan. Guru mungkin sedikit menjelaskan untuk mengarahkan aktivitas anak.

Namun, secara umum si anaklah yang sibuk beraktivitas dengan guru sibuk mengobservasi seberapa jauh anak belajar. Anak SD suka beraktivitas. Bila mereka gembira beraktivitas, waktu belajar yang panjang tidak akan membosankan.

Konsekuensi penerapan student-centered learning adalah kesiapan dan kualitas guru. Dispendik dituntut intens memberikan pelatihan kepada guru SD. Sedikit saran, berdasar pengalaman, pelatihan masal tidak efektif.

Kesiapan terakhir adalah pengelolaan pembiayaan. Menerapkan full day school berarti menahan anak lebih lama di sekolah. Itu berarti pemenuhan kebutuhan dasar (konsumsi) menjadi tanggung jawab sekolah. Itu tidak murah.

Belum lagi pendanaan kegiatan belajar. Aktivitas siswa mengonstruksi pemahaman sebaiknya otentik, tidak hanya indoor activities, tapi juga outdoor activities. Pendanaan outdoor activities juga tidak murah.

Media pembelajaran yang variatif dan interaktif tetap saja menuntut penganggaran tidak sedikit, demikian pula pelatihan guru yang intens dan terencana.

Bantuan operasional pusat dan daerah memang sudah dikucurkan. Namun, di lapangan, kedua mekanisme pembiayaan itu belum maksimal, apalagi dalam konteks menerapkan full day school. Untuk pembiayaan reguler saja, masih ada keluhan karena sekolah tidak lagi bisa menarik iuran dari orang tua.

Mungkin alternatifnya adalah kepala sekolah memiliki visi kewirausahaan. Bisa menggali dana dari pihak ketiga atau melalui unit usaha yang dikembangkan sekolah. Namun, kepala sekolah bermental wirausaha, kalaupun ada, mungkin baru bisa dihitung dengan jari. ( diposting oleh : Budi. ES. sumber Jawa Pos )
SEBUAH refleksi menarik dimuat harian ini pekan lalu. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengakui bahwa pelaksanaan full day school di metropolis kurang maksimal. Khususnya, pada level sekolah dasar.

Beliau juga membeberkan bahwa hal itu, antara lain, disebabkan kurangnya kreativitas guru dalam mengelola joyful learning. Akibatnya, murid cenderung bosan dan lelah mengikuti pelajaran hingga sore. Beliau lalu melontarkan solusi bahwa dispendik akan menggiatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru mengelola joyful learning.

Dispendik Surabaya memang terkesan sangat berkomitmen mendorong SD-SD di metropolis untuk menerapkan full day school. Alasannya, full day school terbukti mampu menekan angka kenakalan remaja.

Logis. Karena sibuk bersekolah, anak tidak punya waktu untuk berbuat aneh-aneh sepulang sekolah. Itu sejalan dengan kecenderungan orang tua metropolis yang tidak punya cukup waktu untuk berinteraksi dengan anak karena sibuk mencari nafkah.

Bila full day school hendak dilaksanakan dengan sukses, yang harus dibenahi adalah penataan kesepahaman sekolah pelaksana dan wali murid. Bila anak harus menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, harus ada alasan sangat kuat yang menguntungkan bagi pembentukan kepribadian anak. Kita harus kembali pada pemikiran awal, kenapa seorang anak harus pergi ke sekolah. Bila itu tidak dilakukan, pembicaraan mengenai full day school hanya akan menjadi lingkaran setan debat kusir.

Sekolah bukan mesin cuci. Sekolah bukan tempat menyelesaikan permasalahan hubungan keluarga yang buruk. Ketika orang tua terpaksa sibuk bekerja dan khawatir anaknya nakal, lalu memilih sekolah sebagai jalan keluar, itu jelas salah. Sekolah akan selalu dituntut bisa memproteksi anak dari kemungkinan menghabiskan waktu di luar sekolah. Sekolah dituntut menyelesaikan implikasi apa pun dari kurangnya hubungan orang tua-anak.

Anak yang frustrasi, kosong mental, menyimpan amarah psikologis, ditekan untuk berada di sekolah. Celakanya, saat ini, sekolah sebagai mesin cuci belum bisa dikategorikan baik. Sekolah baru bisa menahan anak berada di sekolah secara fisik, belum menjadi rumah yang nyaman bagi alam pikir anak.

Akibatnya, sekolah bisa-bisa menjadi kumpulan anak bermasalah. Mungkin karena itu, banyak sekolah enggan melaksanakan full day school. Sungguh mengerikan bila sekolah mau menjadi mesin cuci dengan ketidaksiapan amat sangat seperti itu.

Sekolah mestinya menjadi wahana anak mengembangkan kepribadian menjadi manusia yang utuh. Mungkin, latar keluarga si anak tidak harmonis. Namun, bila sekolah dan wali murid memiliki pemahaman di atas, bisa diharapkan anak yang melalui hari-hari di sekolah dalam rentang waktu tertentu tumbuh menjadi manusia yang diharapkan. Kesepahaman itu mestinya terwujud dalam komunikasi yang intens dan terstruktur antara sekolah dan wali murid.

Lalu, kesiapan apa yang perlu dilakukan sekolah? Pertama, sekolah harus memiliki kurikulum yang menekankan kebutuhan siswa. Istilah kerennya, pembelajaran berpusat pada siswa atau student-centered learning. Ketika kurikulum berpusat pada siswa, ia akan bertumpu kepada aktivitas siswa. Tidak seperti parrot learning yang selama ini masih dilakukan di banyak sekolah.

Parrot learning adalah proses belajar yang menekankan pada menghafal. Yang dikejar adalah penguasaan pengetahuan deklaratif. Bila ingat sesuatu, maka ia belajar. Anak akan menghabiskan waktu menghafal bagian tubuh di mata pelajaran sains, menghafal siapa saja raja Dinasti Syailendra di sejarah, menghafal rumus-rumus matematika, bahkan menghafal apa saja bagian-bagian komputer.

Memang, bila kita tidak ingat apa-apa tentang apa yang kita pelajari, ada kemungkinan kita tidak belajar. Namun, penekanan proses belajar pada aktivitas pengingatan fakta semata seperti itu kurang lebih sama dengan mengajari burung kakak tua berbicara. Karena itu, muncul istilah parrot learning.

Sekolah dengan student-centered learning akan memaksimalkan siswa dengan aktivitas menemukan pemahaman sendiri. Ketika memelajari bagian-bagian komputer, anak akan sibuk mengeksplorasi komputer hingga tahu mana mouse, keyboard, dan sebagainya tanpa si guru harus berbusa-busa menjelaskan. Guru mungkin sedikit menjelaskan untuk mengarahkan aktivitas anak.

Namun, secara umum si anaklah yang sibuk beraktivitas dengan guru sibuk mengobservasi seberapa jauh anak belajar. Anak SD suka beraktivitas. Bila mereka gembira beraktivitas, waktu belajar yang panjang tidak akan membosankan.

Konsekuensi penerapan student-centered learning adalah kesiapan dan kualitas guru. Dispendik dituntut intens memberikan pelatihan kepada guru SD. Sedikit saran, berdasar pengalaman, pelatihan masal tidak efektif.

Kesiapan terakhir adalah pengelolaan pembiayaan. Menerapkan full day school berarti menahan anak lebih lama di sekolah. Itu berarti pemenuhan kebutuhan dasar (konsumsi) menjadi tanggung jawab sekolah. Itu tidak murah.

Belum lagi pendanaan kegiatan belajar. Aktivitas siswa mengonstruksi pemahaman sebaiknya otentik, tidak hanya indoor activities, tapi juga outdoor activities. Pendanaan outdoor activities juga tidak murah.

Media pembelajaran yang variatif dan interaktif tetap saja menuntut penganggaran tidak sedikit, demikian pula pelatihan guru yang intens dan terencana.

Bantuan operasional pusat dan daerah memang sudah dikucurkan. Namun, di lapangan, kedua mekanisme pembiayaan itu belum maksimal, apalagi dalam konteks menerapkan full day school. Untuk pembiayaan reguler saja, masih ada keluhan karena sekolah tidak lagi bisa menarik iuran dari orang tua.

Mungkin alternatifnya adalah kepala sekolah memiliki visi kewirausahaan. Bisa menggali dana dari pihak ketiga atau melalui unit usaha yang dikembangkan sekolah. Namun, kepala sekolah bermental wirausaha, kalaupun ada, mungkin baru bisa dihitung dengan jari. (soe)

Pendidikan Untuk Kaum Perempuan

Wacana kesenjangan pendidikan perempuan dengan laki-laki, pada dasarnya merupakan mitos sosial yang sudah tidak relevan lagi jika diwacanakan dalam konteks kekinian, di zaman yang sudah serba maju ini. Karena perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak untuk mendapat pendidikan yang layak seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 45.

Perbincangan masalah perempuan tampaknya akan selalu menjadi perbincangan menarik, baik dalam forum diskusi ilmiah bahkan pada perbincangan sederhana yang barangkali hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Hal tersebut diakibatkan posisi perempuan yang selalu menjadi diskursus di tengah masyarakat.

Konsep domestifikasi perempuan misalnya, acapkali dijadikan alasan untuk menggeser kiprah kaum perempuan dalam struktur sosial. Sehingga tidak heran jika hal tersebut terus menjadi wacana hangat yang sepertinya tidak akan pernah sepi dalam setiap perbincangan.

Dunia pendidikan pun tidak luput dari rentetan wacana perempuan, persoalan kesenjangan pendidikan perempuan menjadi sesuatu yang terus digulirkan, sehingga mengakibatkan adanya sebuah stratifikasi yang sangat lebar antara pendidikan perempuan dan laki-laki.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah wacana tersebut hanya merupakan wacana buta yang secara faktual tidak pernah terjadi, atau dalam bahasa lain hal tersebut digelindingkan hanya untuk menjustifikasi posisi perempuan agar selalu ada di bawah kaum pria. Atau, jangan-jangan wacana semacam ini justru memang merupakan fakta yang secara tidak sadar sudah dialami oleh kaum perempuan sendiri.

Terlepas dari kontroversi yang terjadi, yang jelas ada kemungkinan bahwa kedua asumsi tersebut memang benar. Namun demikian, untuk membuktikan tingkat pendidikan perempuan di Indonesia perlu kita membuka data statistik yang menjadi gambaran kuat akselerasi pendidikan kaum perempuan di negeri tercinta ini.

Menurut data yang ditulis oleh Eka Hamidah (Peneliti SCINIE Bandung), selama periode 1971-1990 pendidikan kaum perempuan yang tidak tamat sekolah dasar (SD) dan tidak sekolah turun dari 80,07 persen menjadi 52,90 persen. Sedangkan tingkat partisipasi di sekolah untuk penduduk wanita usia tujuh hingga 12 tahun pada laporan yang sama menunjukkan angka yang menggembirakan, antara kaum laki-laki dan perempuan tidak berbeda, bahkan sedikit lebih banyak, yakni 91,55 persen berbanding dengan 91,35 persen.

Dari data di atas ada kesimpulan sementara yang bisa dijadikan alasan kuat tentang adanya metologi pendidikan perempuan yang hal tersebut cenderung mendiskriminasikan kaum perempuan, yaitu bahwa pada dasarnya sejak tahun 1990-an pendidikan kaum perempuan sudah hampir setara dengan kaum laki-laki, hanya saja stigma yang terus menggurita kaum perempuan mengakibatkan terus terpuruknya posisi perempuan dalam bidang pendidikan.

Wacana rendahnya pendi�dikan perempuan pada dasarnya merupakan mitos sosial yang terus bergulir dan mengancam terhadap konsistensi kaum perempuan itu sendiri, maka dari itu langkah cerdas untuk mengikis konsep kesenjangan tersebut merupakan langkah yang harus dilakukan oleh siapa saja, lebih-lebih oleh kaum perempuan itu sendiri, sehingga mitos-mitos tersebut dengan sendirinya akan bergeser dan dengan demikian posisi pendidikan perempuan akan terus bangkit dan menyetarai dengan pendidikan, lawan jenisnya, para laki-laki.

Bahkan perlu kita garis bawahi, bahwa dalam konteks Islam pun sudah ditegaskan, bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Justru pendidikan itu sendiiri menjadi wajib dimiliki oleh setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan.

Dasar ini cukup untuk menjadi alasan bagi kita semua untuk sama-sama menghapus kesenjangan pendidikan tersebut. Maka metologi pendidikan perempuan yang menyatakan bahwa perempuan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki dalam sektor pendidikan harus kita minimalisir dalam upaya menciptakan iklim pendidikan yang setara tanpa harus mempersoalkan jenis kelamin masing-masing. Karena sekali lagi laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk mencicipi dan memiliki pendidikan yang memadai. ( diposting oleh : Budi.ES. dikutip dari berbgai sumber )

Pendidikan Tidak Kenal Resesi

Pendidikan agaknya tidak mengenal resesi. Buktinya, minat untuk masuk ke sekolah dan universitas terus meningkat. Hal itu tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga yang ingin belajar ke luar negeri.

”Ada kecenderungan jumlah orang Indonesia yang belajar ke luar negeri terus meningkat,” ujar Harianto, Ketua Panitia Pameran Pendidikan Luar Negeri, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam pameran yang diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pendidikan Internasional Indonesia itu, peserta tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga banyak yang datang langsung dari luar negeri, seperti Jerman, Swiss, China, Malaysia, Australia, dan Selandia Baru. Dan, seperti biasanya, pameran pendidikan selalu dipenuhi pengunjung yang berminat mencari informasi studi ke luar negeri.

Meski minat belajar ke luar negeri cenderung meningkat, Harianto tidak bisa menyebutkan angka pasti. Kepastian itu justru muncul dari Deby Nasution, Senior Executive Tourism Business (Education) Singapore Tourism Board.

”Saat ini, jumlah siswa/mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Singapura sekitar 10.000 orang. Karena itu, Indonesia termasuk kelompok lima besar yang banyak mengirimkan siswa/mahasiswa ke Singapura selain China, India, dan negara-negara ASEAN,” ujar Deby kepada Kompas.

Hal senada dikemukakan Darsham bin Daud, Direktur Promosi Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia (Education Malaysia), di Jakarta.

”Saat ini ada 10.600 siswa/mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Malaysia. Ini angka yang amat signifikan mengingat tahun 2004 jumlah siswa/mahasiswa Indonesia sekitar 5.600 orang. Ini berarti, setiap tahun hampir mengalami kenaikan 20 persen,” ujar Darsham.

Berdasarkan peningkatan jumlah siswa/mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri, tak bisa disangkal bahwa pendidikan memang tidak mengenal resesi. Dalam keadaan apa pun, pendidikan akan selalu dibutuhkan.

Pasar yang bagus

Bermarkas di Menara Danamon di kawasan Mega Kuningan. Deby menjelaskan, Singapore Tourism Board adalah lembaga Pemerintah Singapura yang hanya memberikan informasi umum, bukan sebagai agen pendidikan. Adapun agen-agen yang boleh ”menangani” calon siswa/mahasiswa yang akan belajar di Singapura adalah agen yang mendapat semacam lisensi, Singapore Education Specialist.

”Memang hingga kini ada sekitar 30 perguruan tinggi swasta di Singapura yang aktif berpromosi di Indonesia. Itu sebabnya, jumlah mahasiswa Indonesia di Singapura paling banyak berasal dari Jakarta, Surabaya, dan Medan,” lanjut Deby.

Sementara itu, kebanyakan mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia berasal dari Sumatera. ”Ini bisa dipahami karena dari Aceh, Riau, Medan, atau Padang jauh lebih dekat ke Malaysia daripada ke Jakarta. Apalagi, menurut survei, Jakarta merupakan kota termahal ke-11 di Asia. Sedangkan Kuala Lumpur masuk dalam kota ke-33 termahal. Penentuan itu didasarkan pada harga sewa hotel, transportasi, serta makanan. Tentu saja kota termahal di Asia masih diduduki Tokyo, Korea, dan lainnya,” ujar Darsham.

Melihat peningkatan arus siswa/mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri, secara tidak langsung juga hal itu menguatkan pendapat bahwa negeri berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa ini merupakan pasar yang bagus.

Banyak kesamaan

Besarnya jumlah siswa/mahasiswa Indonesia di Singapura dan Malaysia tentu tidak lepas dari berbagai faktor.

Pertama, siswa/mahasiswa Indonesia tidak akan mengalami kejutan budaya bila belajar di Singapura atau Malaysia.

”Cuma isu terakhir terkait hubungan Indonesia-Malaysia membuat kami harus diam. Padahal, jujur kami akui, 80 persen hingga 90 persen penduduk Malaysia itu datang dari Jawa, Aceh, Riau, Padang, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. Mereka datang sejak zaman Belanda dulu. Dalam tubuh saya ini juga masih mengalir darah Bugis karena leluhur saya berasal dari Sulawesi,” kata Darsham.

Kedua, dari segi geografis, jarak tempuh dari Indonesia ke Singapura dan Malaysia tidak terlalu jauh. Bahkan, apabila ingin ke Kuala Lumpur atau Singapura, masyarakat Indonesia yang tinggal di Batam, Riau, Aceh, Medan, dan Padang tidak memerlukan waktu terlalu lama.

Ketiga, cuaca di Singapura, Malaysia, dan Indonesia boleh dikatakan sama, tak ada perbedaan.

Keempat, makanan yang ada di Malaysia, Singapura, dan Indonesia juga tidak jauh beda.

”Karena berbagai kesamaan itulah, banyak siswa dan mahasiswa Indonesia memilih Singapura dan Malaysia untuk belajar. Dulu, Australia menjadi tujuan utama studi. Tetapi, jarak yang jauh dan urusan visa yang sering memakan waktu membuat siswa dan mahasiswa Indonesia berpaling ke Malaysia atau Singapura. Kebetulan banyak universitas asing, juga dari Australia, yang membuka cabang di dua negeri itu. Juga kualitas pendidikan di Singapura dan Malaysia yang semakin bagus, membuat dua negeri itu menjadi tujuan utama,” tutur Diana yang mengantar putranya mengunjungi pameran pendidikan luar negeri pada Agustus lalu di Jakarta Hilton Convention Center.

Alasan senada ditambahkan Darsham. ”Kalau anak rindu orangtua atau orangtua rindu anak, dalam sekejap bisa saling bertemu di Malaysia, Singapura, atau Indonesia. Bahkan, kini banyak orangtua yang sambil berakhir pekan menengok anak- anaknya yang sedang belajar di Kuala Lumpur atau Singapura,” katanya.

Tanggung jawab

Upaya mempromosikan pendidikan yang diadakan Malaysia maupun Singapura dilakukan dengan memberikan jaminan. Malaysia, misalnya, untuk membangun pendidikan menyediakan anggaran 30 persen dari total anggaran.

Untuk memudahkan pembangunan pendidikan, Malaysia ”membagi” dua kementerian, yaitu Kementerian Pelajaran yang membawahkan jenjang pendidikan dari taman kanak-kanak hingga SMA. Sementara Kementerian Pengajaran Tinggi khusus mengurusi jenjang pendidikan D-3 hingga S-3. Masing-masing kementerian mempunyai tugas sendiri-sendiri. Kementerian Pelajaran bertugas untuk terus mengembangkan sekolah, termasuk pembaruan kurikulum dari waktu ke waktu. Adapun Kementerian Pengajaran Tinggi terus berusaha mendorong perguruan tinggi di Malaysia untuk mencapai standar internasional, baik sistem maupun program- programnya.

Di Singapura, pemerintah setempat selain memacu tiga universitas negeri�National University of Singapore, Nanyang Technological University, dan Singapore Management University�untuk mencapai standar internasional juga memberlakukan aturan ketat terhadap sekolah dan universitas swasta. Kini ada sekitar 300 lembaga pendidikan swasta (private education organization/PEO) di Singapura.

”Untuk melindungi siswa dan mahasiswa asing, Kementerian Pendidikan Singapura memberlakukan peraturan amat ketat terhadap PEO. Ada tiga hal yang harus dijalankan oleh perguruan swasta, yaitu piawai dalam bidang akademik, mampu mengelola dan mengorganisasi dengan andal, dan memberikan jaminan proteksi terhadap siswa atau mahasiswa. Ini untuk menjaga jangan sampai siswa atau mahasiswa asing tertipu,” ujar Deby Nasution.

Melihat betapa seriusnya negara tetangga�Singapura dan Malaysia�mereka yakin bahwa pendidikan tidak mengenal resesi. Kapan pun, manusia memerlukan pendidikan. Keadaan ini menyentak kita untuk berpaling kepada pendidikan dalam negeri. Kapankah kualitas pendidikan kita benar-benar bertaraf internasional? Kita tunggu. ( diposting oleh : Budi. ES, dar berbagai sumber )

Guru dan Makna Profesinalisme

Oemar Bakri... Oemar Bakri... pegawai negeri Oemar Bakri... Oemar Bakri... 40 tahun mengabdi Jadi guru jujur berbakti memang makan hati Oemar Bakri... Oemar Bakri... banyak ciptakan menteri Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itulah sepenggal lirik lagu "Oemar Bakri" yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh musisi legendaris Iwan Fals pada tahun 1980-an. Lagu tersebut bercerita tentang seorang guru tua nan miskin bernama Oemar Bakri

Ia sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan dan telah membidani lahirnya para pejabat negeri ini. Namun, apa yang dilakukan ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan. Begitulah kira-kira tafsir sederhana saya terhadap lagu tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk kita cermati dari lagu "Oemar Bakri" itu. Pertama, Iwan Fals ingin memberikan gambaran obyektif tentang profesi guru saat itu. Guru merupakan profesi yang tidak elite, tidak bonafide, bergaji pas-pasan, dan tidak ada ruang untuk kemajuan. Gambaran Iwan Fals tentang kondisi guru mewakili anggapan dominan banyak orang saat itu. Tidak mengherankan, jarang ditemukan anak bercita-cita menjadi guru. Ketika anak-anak ditanya apa cita-citanya, jawaban mereka sudah bisa ditebak: ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, presiden, dan sebagainya. Jarang sekali anak menjawab ingin menjadi guru.

Kedua, sang musisi ingin menyentil pemerintah yang saat itu kurang peduli terhadap pendidikan, khususnya nasib guru. Kita akan selalu ingat salah satu stigma Orde Baru yang sangat menghegemoni, yaitu guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Perkataan itu meninabobokan para guru untuk betah hidup dalam ketidaksejahteraan. Perkataan tersebut memaksa mereka puas dengan apa yang selama ini didapatkan.

Perlakuan dan penghargaan terhadap guru di Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki rata dengan tanah akibat dibom sekutu, hal pertama yang ditanyakan kaisar kepada perdana menterinya adalah berapa guru yang masih hidup. Sang kaisar pun meminta guru-guru yang tersisa untuk dijaga, dipelihara, diberi makan cukup, dan diberi kesejahteraan yang memadai karena sang kaisar beranggapan bahwa guru adalah pijakan arah bangsa. Dari dulu hingga sekarang posisi guru di Jepang amat terhormat. Tidak mengherankan, negara itu maju pesat karena menjadikan guru sebagai arah pijakan bangsa.

Sekarang kondisi guru yang dulu memprihatinkan mulai sedikit berubah. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan, khususnya guru, mulai tampak, misalnya dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005. Undang-undang itu bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi walaupun pada akhirnya tidak sedikit guru yang terjebak pada penafsiran keliru terhadap profesionalisme dengan pemberian sejumlah uang dalam kurun waktu tertentu.

Penafsiran keliru tersebut dapat menjerumuskan para guru pada pengerdilan akan makna profesionalisme, bahkan membunuh mentalitas untuk mengabdi dan melayani secara tulus. Dalam pendidikan kita, antara profesionalisme dan apresiasi kerja telah rancu. Celakanya, profesionalisme telah dijadikan sama dengan apresiasi kerja, yakni pemberian penghargaan kepada guru yang lulus uji sertifikasi dengan sejumlah uang sebagai tanda bahwa ia telah menjadi guru profesional.

Hargai pilihan profesi

Terlepas dari pro dan kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap anak didik. Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari dalam diri.

Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru keinginan untuk terus belajar setiap waktu. Guru belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Jadi, keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan.

Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya. Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan dalam proses pendidikan.

Cara pandang yang lebih positif terhadap profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak menghargainya? Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.

Menurut William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh kebahagiaan.

Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu kali kegagalan dalam membuat bola lampu. Suatu hari, Edison ditanya seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?" Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat sesuatu. ( di posting oleh : Budi. ES. dikutip dari berbagai sumber )

UN 2011 dari Kaca Mata Seorang Siswa

UJIAN Nasional (UN) yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dari tanggal 18-21 April 2011 dalam pelaksanaannya bisa dinilai cukup baik. Dimana UN kali ini dilaksanakan dengan tetap mendengar aspirasi dari berbagai pihak.

Seperti nilai kelulusan tak lagi mutlak berdasarkan hasil pelaksanaan UN semata. Tapi juga memperhatikan nilai-nilai siswa di sekolah. Sehingga tekanan mental siswa maupun guru juga berkurang dalam menghadapi UN ini.

Lalu, pelaksanaannya yang memakai sistem lima paket juga mendukung agar tidak terjadinya kebocoran kunci jawaban yang selama ini sering terjadi. Pengaduan yang didapat di posko UN pun berkurang dari tahun sebelumnya yang terdapat 800 lebih pengaduan menjadi hanya 105 pengaduan.
Nah ini baru suatu kemajuan yang perlu diacungi jempol.
( di posting oleh : Budi. ES ).

Menilai Siswa, Tak Cukup Hanya Tes Belaka

Sampai saat ini penilaian (assessment) belum berjalan secara optimal di dunia pendidikan. Penilaian terhadap siswa seharusnya digunakan untuk memberikan dukungan dan membantu siswa yang kesulitan belajar.

Demikian diungkapkan pakar pendidikan Itje Chodidjah di Jakarta, Senin (9/5/2011). Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah dunia pendidikan Indonesia saat ini masih berpatokan bahwa keberhasilan siswa hanya ditentukan dengan ujian tertulis. Padahal, untuk mengetahui kemampuan dan permasalahan siswa dalam belajar harus dipraktikkan dalam assessment di sepanjang masa sekolah, bukan di akhir masa sekolah.

"Nilai yang dicapai dalam testing itu hanya sekadar angka 1 sampai 100. Namun, itu tidak merepresentasikan kemampuan yang dicapai siswa," ujar Itje kepada Kompas.com.

Itje mencontohkan dalam pelajaran bahasa. Menurut dia, kemampuan orang berbahasa harus dilihat dari beberapa proses, seperti ketika siswa menulis, membuat karangan kecil, lalu beberapa kali siswa mengubah konsep karangannya. Hal tersebut dilakukan agar kemampuan siswa dapat terpantau secara bertahap.

Itje pun mencontohkan seorang siswa yang mendapatkan nilai 75 dalam ujian tertulis dengan tipe pilihan ganda. "Siapa yang mampu menilai kemampuan anak tersebut? Apakah anak itu hanya dapat nilai 75 saja atau dia memang punya kepandaian khusus? Kalau kita lihat saat ini, tidak banyak siswa lulusan SMA yang bisa berbahasa Inggris lancar kalau dia tidak ikut kursus," papar Itje.

Selain itu, Itje menambahkan, kurikulum juga dapat menjadi salah satu penyebab. Ia menilai kurikulum saat ini perlu dibenahi dalam tata pelaksanaannya di lapangan agar tujuan dari assessment menjadi jelas.

Tata pelaksanaan di lapangan, lanjut Itje, misalnya, ketika pemerintah menyosialisasikan kurikulum terhadap guru-guru di berbagai daerah. Ia menilai sosialisasi kurikulum pada 2006 masih terdapat banyak kekurangan. Salah satunya adalah pelaksanaan yang sporadis sehingga ada guru yang tahu kurikulum tersebut, tetapi tak sedikit pula yang angkat bahu.

"Sporadis di sini dalam arti, misalnya, satu kabupaten dipanggil dua sampai tiga guru dalam sosialisasi tersebut. Namun, bagaimana dua atau tiga guru itu bisa menangani satu kabupaten? Tidak mungkin. Nah, seharusnya dapat dilakukan penataan, misalnya dengan klaster-klaster dalam sosialisasinya," kata Itje.

Terus didengungkan

Itje mengatakan, saat ini assessment harus terus didengungkan. Hal itu agar proses pembelajaran tidak lagi dalam bentuk tes tertulis untuk mengukur kemampuan siswa.

Para guru juga perlu diberikan pemahaman dan pelatihan agar pelaksanaan assessment menjadi jelas. Pasalnya, menurut Itje, sebesar apa pun pemerintah ingin menjalankan assessment, jika guru-guru tidak memiliki pemahaman yang baik, proses tersebut akan menjadi sia-sia.

"Paradigma guru juga perlu diubah karena biasanya saat ini guru tidak sreg kalau tidak ada testing," tutup Itje. 

 ( di posting oleh : BUDI. ES )

Kemdiknas Akan Ganti Buku Cetak dengan Komputer Tablet

Jakarta - Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan mengembangkan komputer tablet yang berisi materi pelajaran. Komputer tablet ini nantinya akan menggantikan buku cetak pelajaran yang selama ini digunakan oleh siswa sekolah.

"Komputer tablet ini akan digunakan sebagai bagian utama dalam sistem pelajaran," ujar Mendiknas M Nuh di kantor Kemendiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (2/5/2011).

Nuh mengatakan buku yang berbentuk cetak hanya akan menjadi penunjang komputer tablet tersebut. Sehingga para siswa tidak perlu lagi membawa buku yang banyak dan berat ke sekolah.

"Itu yang membuat mereka kecapekan," ungkapnya.

Kemendiknas dalam hal ini bekerjasama dengan Microsoft Indonesia dan Intel Indonesia. Sayangnya Nuh tidak menjelaskan kapan komputer tablet ini mulai diluncurkan. Nuh juga tidak sempat menjelaskan mengenai komputer tablet ini apakah akan dibagikan kepada setiap siswa atau mereka harus membeli.

Sementara itu Direktur Utama Microsoft Indonesia Sutanto Hartono mengatakan kerjasama tersebut bertujuan untuk meningkatkan metode pengajaran para guru. Dengan program ini diharapkan guru dan tenaga pengajar akan siap menggunakan metode belajar mengajar abad ke 21.

"Selain itu juga dapat meningkatkan performa dalam hal e-learning," jelas Sutanto.

Sutanto menjelaskan Microsoft berkomitmen untuk memberikan dukungan piranti lunak yang dapat diunduh secara gratis dalam rangka proses akademik yang akhirnya akan mendukung karir para siswa di masa mendatang. Microsoft mendukung terus dunia pendidikan Indonesia dalam menyongsong era pendidikan era abad 21.

"Soal harga akan dibicarakan lebih lanjut," ujarnya.

Manager Humas Intel Indonesia Corporation Dhyoti R. Basuki mengungkapkan hal serupa. Kerjasama ini merupakan pemanfaatan program dengan tujuan mendukung pilar-pilar kebijakan pendidikan di Kemendiknas.

"Dalam pelaksanaan kerjasama ini, Intel akan memperkuat inisiatif pendidikan di Indonesia. Bertujuan untuk memperluas konektivitas pendidikan berbasis TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) dan pengembangan konten. Kerjasama ini diharapkan membantu para guru dalam proses pengajaran sehingga menghasilkan metode belajar yang efektif sehingga akan mendorong kreativitas dan inovasi para siswa," jelasnya.
( sumber www.igi.or.id )